Selasa, 19 Juli 2011

Kutitip surat ini untukmu

Surat ibu kepada putranya

” Orang tua pintu surga yang di tengah, sekiranya engkau mau,
sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!”
(HR.Ahmad).

Kutitip surat ini,anakku!
Nanda yang kusayangi, di bumi Allah ta’ala....

Segala puji ibu panjatkan ke hadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepadaNya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya, Amiin....

Wahai Anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirudung selalu dirudung sengsara...setelah berpikir panjang ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali goresan tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikan air mata setiap itu pula hati terluka,....
Wahai anakku,
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi lelaki dewasa, lelaki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku,
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahaun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu saat ketika dokter datang sampaikan tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti dari kalimat tersebut. Bercampur rasa bahagia dan gembira sebagaimana ia adalah awal mula perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 Bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan tendangan kakimu atau geliat badanmu dalam perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasa sakit yang tak tertahankan dan rasa takut yang tak bisa dilukiskan.
Sakit ini terus berlanjut sehingga membuatku tak lagi dapat menangis, sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau ke dunia...
Engkaupun lahir... tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan senantiasa menetes dalam keharuan dan kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya rasa sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku.... telah berlalu tahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu, berlebih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyummu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu,...itulah kebahagiaanku.
Kemudian, berlalulah waktu hari berganti hari bulan dan tahun berganti. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tak pernah meqngenal lelah serta mendoakanmu selalu kebaikan dan taufik untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, menambah ketampaananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kanan dan kiri demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pula hatiku mulai merasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktupun berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu aku tak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dalam kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini jadi buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening dan dalam, bersama dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menenti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku menyangka bahwa bahwa engkaulah orang yang datang itu, setiap jali telepon berdering aku merasakan bahwa engkau yang menelepon, setiap suara kendaraan lewat alu merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada, penentianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping keping, yang ada hanya keputusasaan, yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangis diri dan nasib ysng memang telah ditakdirkan olehNya.
Anakku,... ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu, jadikan ibumu yang malang ini sebagai pembantumu dirumah, agar senantiasa dapat menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Yang ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat pula sesekali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik., jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, ataupun sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku, bergetar tanganku, karena badanku telah makan oleh usia dan digerogoti oleh usia dan digerogoti oleh penyakit... berdiri seharusnya dibopoh, sekalipun begitu cintaku padamu masih seperti dulu.... masih seperti lautan yang tak pernah kering, masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya demi kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu... mana balas budimu nak? Mana balasan baikmu?! Bukankan air susu dibalas dengan air susu pula?! Akan tetapi nak, engkau balas dengan tuba?! Bukankah Allah Ta’ala berfirman:

” Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!”
(QS Ar-Rahman 55: 60)




Armen Halim Naro, Pekan Baru

1 komentar: