Senin, 10 Oktober 2011

CERPEN : Lari

Suatu Kebijakan lahir karena proses yang sangat panjang dalam diri seseorang, pelik mengucap kata yang bertentangan dengan egonya yang hakiki.
suatu hari, disaat saat masalah datang menghampiri dan berkata " Hai,. kamu yang hanya duduk diam memperhatikanku, bisakah kau ambilkan seember air." pikir sejenak apa maksudnya.
Masalah dengan keras berkata " Siram dirimu sendiri dengan air yang kau ambil barusan, Jika kau tak pernah belajar memperhatikan masalah dan berusaha bertindak bijak."
Pernah suatu hari seorang diri berbicara, bahwa tak akan lagi ia kemana mana dan tak melakukan apa apa. ini Gila. diri itu memang gila. Beberapa waktu lalu ia diserang masalah yang bertubi tubi. tak henti sampai sang anak meninggal saja bahkan istri tercinta telah memilih hidup dengan cerita baru tanpanya seorang mantan suami. tersedu sedu ia menangis, tak peduli tentang dirinya seorang kuli panggul Pelabuhan. kepalan tangannya cukup kuat untuk membuat sang istri "nurut" tetap disisinya. tapi tak mungkin baginya lakukan hal sebrengsek itu. Pesan sang mak tercinta selalu berenang dalam sanubarinya, menjaga hati selayaknya sang mamak yang meninggalkannya secara tiba tiba sesaat setelah ia menikah.
Selepas Sholat maghrib berjamaah dengan sang istri tercinta, Laela. Wanita yang usianya lebih tua 4 tahun darinya, ia sadari sang mamak tak begitu suka dengan wanita asli betawi itu, perawakannya yang kecil namun dengan mimik  tak ramah, namun Isam  serasa semua menjadi sempurna bersamanya. sang mamak telah tergolek lemah di ranjang bambunya yang semakin reot sejalan usia senjanya," Mamak, tidakkah kau seharusnya Sholat dengan tidur saja " Saran Isam sebagai anak tertua dari 3 Saudaranya. Isam sadari betapa cintanya sang mamak pada Allah, selayaknya seorang hamba yang berserah penuh tanpa kecuali. " Batukku semakin menyesakkan dada saja, Is. Kau baik baiklah dengan istrimu. ingat Is.. Pria yang baik adalah menjadi kepala rumah tangga." Sang mamak dengan matanya yang bingar memandang jantung hati kebanggaannya. Isam tak tahan mendengar suara parau mamak sambil sesekali batuk, bisik lirih dalam hati “ Ya Rabb,  bisakah engkau meringankan rasa sakit pahlawan sejatiku ini, tak kuasa hidup ini jika hanya mendengar suara yang dulu selalu bersholawat sambil menidurkanku dan adik adik harus tertatih-tatih dengan sakitnya.” Air mata Isam tak terbendung, kecupan terhadap mamak tercinta seakan jadi penanda bahwa ia tak ikhlas jika sakit itu mendera mamak.
Laela, hanya diam terpaku, melihat semua itu, egonya yang tinggi tak luluh dengan suara batuk mertuanya itu, menyesal dalam hati, ketika tahu Isam bukanlah Pria kaya yang ia dambakan, bukanlah anak sulung tuan tanah di desa terpencil ini. Menyesal memang tak diawal, Ia sudah mendekam dalam pernikahan adat timuran. Meski begitu, ia tak sanggup kembali ke keluarga besarnya di kampung Betawi, Isam menjadi pilihan dibanding orang tuanya. Bukankah menjilat ludah sendiri bila harus kembali pulang membawa cerita cinta yang tak sesuai harapan. Mata Laela berulang kali melirik suami yang baru sebulan menikahinya, dan baru ia sadari, cintanya pada Isam tak lain karena penasaran terhadap perawakan dan pengakuan Isam sebagai pemilik tanah dikampungnya. Lagi lagi nasi menjadi bubur, tak dapat disangsikan. Isam adalah suaminya. “ Ini tak akan lama, tak mungkin aku biarkan diriku mencuci dan mandi di sungai seumur hidup, dan tak bisakah aku setiap minggu ke luar negri” guman Laela.
………..selepas Isya, mamak seakan tak berdaya dengan kuasaNYA, riak darah terus menerus keluar dari tenggorokannya, “Isma, engkau yang sanggup menatapku terakhi kalinya nak, teringat saat kau buka mata setelah ku lahirkan. Dengan riang seakan kau berkata, Mamak..” tangisan Isma pecah begitu saja medengar cerita mamak, raungan adiknya Fifi dan Sami semakin membuat Isma tak berdaya.” Nikahkan adik perumpuanmu, buatlah mereka bahagia. Maaf Is mamak tak sanggup menemanimu menjadi seorang bapak, namun berjanjilah bahwa kau akan menjadi pria sebaik bapakmu.” Isma hanya mendekap erat mamaknya.tanpa suara. Hanya air mata yang mencoba berbicara. “ jangan sedikitpun kau pukul istrimu, meski seberapa pedih ia menyakitimu, wanita adalah seperti mamak,” kata terakhir mamak membuat Isma tertegun tak berdaya, semakin keras Fifi dan sami menangis semakin membuatnya ingin diam, sangat diam.
Semua akan berjalan begitu saja, begitu saja tanpa henti.
Laela akan pergi besok, sudah hampir 2 bulan Isma tak menyentuhnya. Istri yang dicintainya pernah berkata,” Sentuhlah diriku kalau kau tak hanya punya sajadah saja,..” sontak itu membuat hatinya lumpuh. Inikah sebenarnya Laela yang dulu kupuja, inikah wanita secantik bidadari yang tak boleh disakiti, seperti pesan mamak. Bahkan Istriku ini tak mau menyentuh apalagi memandikan jasad mamak, seorang yang melahirkanku. “ Ya Rabbi, inikah balasan bila wajah cantik yang kujadikan ukuranku mencari istri.” Laela tak secantik moralnya,tubuhnya setara dengan uang layaknya Pelacur, ia memintaku menukar sajadah dengan mobil jika aku ingin menyetuhnya, “Oooh Tuhanku, hinakan hamba ini tak punya sepeserpun emas atau intan, apakah aku menyakitinya, inikah kekeliruanku”.
Biarkan aku berlari, Laela memilih pergi dari rumah yang kubangun dari tabunganku selama aku menjadi kuli  pelabuhan di Jakarta., sekarang baru aku sadari, aku tak punya apapun.
Terhenyak hati tak pahami hidup ini, mengapa begitu bertubi dera yang kualami. Ini semua hanyalah sebagian naskah yang akan dialami semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar