Suatu Kebijakan lahir karena proses yang sangat
panjang dalam diri seseorang, pelik mengucap kata yang bertentangan dengan
egonya yang hakiki.
suatu hari, disaat saat masalah datang menghampiri dan berkata " Hai,. kamu yang hanya duduk diam memperhatikanku, bisakah kau ambilkan seember air." pikir sejenak apa maksudnya.
Masalah dengan keras berkata " Siram dirimu sendiri dengan air yang kau ambil barusan, Jika kau tak pernah belajar memperhatikan masalah dan berusaha bertindak bijak."
suatu hari, disaat saat masalah datang menghampiri dan berkata " Hai,. kamu yang hanya duduk diam memperhatikanku, bisakah kau ambilkan seember air." pikir sejenak apa maksudnya.
Masalah dengan keras berkata " Siram dirimu sendiri dengan air yang kau ambil barusan, Jika kau tak pernah belajar memperhatikan masalah dan berusaha bertindak bijak."
Pernah suatu hari
seorang diri berbicara, bahwa tak akan lagi ia kemana mana dan tak melakukan
apa apa. ini Gila. diri itu memang gila. Beberapa waktu lalu ia diserang
masalah yang bertubi tubi. tak henti sampai sang anak meninggal saja bahkan
istri tercinta telah memilih hidup dengan cerita baru tanpanya seorang mantan
suami. tersedu sedu ia menangis, tak peduli tentang dirinya seorang kuli
panggul Pelabuhan. kepalan tangannya cukup kuat untuk membuat sang istri "nurut" tetap disisinya. tapi tak
mungkin baginya lakukan hal sebrengsek itu. Pesan sang mak tercinta selalu
berenang dalam sanubarinya, menjaga hati selayaknya sang mamak yang
meninggalkannya secara tiba tiba sesaat setelah ia menikah.
Selepas Sholat maghrib berjamaah dengan sang istri tercinta, Laela.
Wanita yang usianya lebih tua 4 tahun darinya, ia sadari sang mamak tak begitu
suka dengan wanita asli betawi itu, perawakannya yang kecil namun dengan
mimik tak ramah, namun Isam serasa semua menjadi sempurna bersamanya.
sang mamak telah tergolek lemah di ranjang bambunya yang semakin reot sejalan
usia senjanya," Mamak, tidakkah kau seharusnya Sholat dengan tidur saja
" Saran Isam sebagai anak tertua dari 3 Saudaranya. Isam sadari betapa
cintanya sang mamak pada Allah, selayaknya seorang hamba yang berserah penuh
tanpa kecuali. " Batukku semakin menyesakkan dada saja, Is. Kau baik
baiklah dengan istrimu. ingat Is.. Pria yang baik adalah menjadi kepala rumah
tangga." Sang mamak dengan matanya yang bingar memandang jantung hati
kebanggaannya. Isam tak tahan mendengar suara parau mamak sambil sesekali
batuk, bisik lirih dalam hati “ Ya Rabb, bisakah engkau meringankan
rasa sakit pahlawan sejatiku ini, tak kuasa hidup ini jika hanya mendengar
suara yang dulu selalu bersholawat sambil menidurkanku dan adik adik harus
tertatih-tatih dengan sakitnya.” Air mata Isam tak terbendung, kecupan
terhadap mamak tercinta seakan jadi penanda bahwa ia tak ikhlas jika sakit itu
mendera mamak.
Laela, hanya diam terpaku, melihat semua itu, egonya yang tinggi tak
luluh dengan suara batuk mertuanya itu, menyesal dalam hati, ketika tahu Isam
bukanlah Pria kaya yang ia dambakan, bukanlah anak sulung tuan tanah di desa
terpencil ini. Menyesal memang tak diawal, Ia sudah mendekam dalam pernikahan
adat timuran. Meski begitu, ia tak sanggup kembali ke keluarga besarnya di
kampung Betawi, Isam menjadi pilihan dibanding orang tuanya. Bukankah menjilat
ludah sendiri bila harus kembali pulang membawa cerita cinta yang tak sesuai
harapan. Mata Laela berulang kali melirik suami yang baru sebulan menikahinya,
dan baru ia sadari, cintanya pada Isam tak lain karena penasaran terhadap
perawakan dan pengakuan Isam sebagai pemilik tanah dikampungnya. Lagi lagi nasi
menjadi bubur, tak dapat disangsikan. Isam adalah suaminya. “ Ini tak akan lama, tak mungkin aku biarkan
diriku mencuci dan mandi di sungai seumur hidup, dan tak bisakah aku setiap
minggu ke luar negri” guman Laela.
………..selepas Isya, mamak seakan tak berdaya dengan kuasaNYA, riak darah
terus menerus keluar dari tenggorokannya, “Isma, engkau yang sanggup menatapku
terakhi kalinya nak, teringat saat kau buka mata setelah ku lahirkan. Dengan riang
seakan kau berkata, Mamak..” tangisan Isma pecah begitu saja medengar cerita
mamak, raungan adiknya Fifi dan Sami semakin membuat Isma tak berdaya.” Nikahkan adik perumpuanmu, buatlah mereka
bahagia. Maaf Is mamak tak sanggup menemanimu menjadi seorang bapak, namun
berjanjilah bahwa kau akan menjadi pria sebaik bapakmu.” Isma hanya
mendekap erat mamaknya.tanpa suara. Hanya air mata yang mencoba berbicara. “
jangan sedikitpun kau pukul istrimu, meski seberapa pedih ia menyakitimu,
wanita adalah seperti mamak,” kata terakhir mamak membuat Isma tertegun tak
berdaya, semakin keras Fifi dan sami menangis semakin membuatnya ingin diam,
sangat diam.
Semua akan berjalan begitu saja, begitu saja tanpa henti.
Laela akan pergi besok, sudah hampir 2 bulan Isma tak menyentuhnya. Istri
yang dicintainya pernah berkata,” Sentuhlah diriku kalau kau tak hanya punya
sajadah saja,..” sontak itu membuat hatinya lumpuh. Inikah sebenarnya Laela
yang dulu kupuja, inikah wanita secantik bidadari yang tak boleh disakiti, seperti
pesan mamak. Bahkan Istriku ini tak mau menyentuh apalagi memandikan jasad
mamak, seorang yang melahirkanku. “ Ya Rabbi, inikah balasan bila wajah cantik
yang kujadikan ukuranku mencari istri.” Laela tak secantik moralnya,tubuhnya
setara dengan uang layaknya Pelacur, ia memintaku menukar sajadah dengan mobil
jika aku ingin menyetuhnya, “Oooh Tuhanku, hinakan hamba ini tak punya
sepeserpun emas atau intan, apakah aku menyakitinya, inikah kekeliruanku”.
Biarkan aku berlari, Laela memilih pergi dari rumah yang kubangun dari
tabunganku selama aku menjadi kuli pelabuhan di Jakarta., sekarang baru aku
sadari, aku tak punya apapun.
Terhenyak hati tak pahami hidup ini, mengapa begitu bertubi dera yang
kualami. Ini semua hanyalah sebagian naskah yang akan dialami semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar