Ibu kita Kartini pendekar bangsa
pendekar kaumnya, untuk merdeka,... (lagu Kartini)
Ingat lagu
yang selalu menggema saat bulan april ini, lagu yang sudah melalang buana ke
semua telinga mulai dari anak anak TK hingga usia senja.
tiap bait lagunya mengundang semangat wanita
Kartini (wanita Indonesia) dalam berjuang.
kembali ke sejarah perjuangan beliau beberapa tahun
lalu, Wanita kelahiran kota Jepara Jawa Tengah pada 21 April 1879 lalu ini
menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia pada jaman itu bahkan sampai
sekarang. Wanita Priyayi begitu hebat
dalam mempertahankan dan kepedulian terhadap nasib wanita, terlebih saat Wanita
yang suka belajar bahasa ini mulai rajin berkirim surat bahkan bertukar pikiran
pada sahabat penanya Rosa Abedanon
dari Eropa. Wanita Eropa ini begitu merespon keberadaan nasib wanita Indonesia
saat itu,, Pertanyaannya sekarang seperti apa nasib wanita Indonesia saat itu? Wikipedia
bahasa Indonesia menjelaskan, Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih
luas atau gerakan emansipasi wanita, bisa kita bayangkan wanita saat itu. Kartini
banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia
juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali
mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan
atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Seperti layaknya
yang kita ketahui Wanita Indonesia dahulu ketika beranjak remaja, mungkin
sekarang anak SMP sudah harus menikah,
demikian halnya dengan Kartini, oleh orangtuanya disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang
sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini
dan diberi kebebasan serta didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah
timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan
yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul
yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran,
yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang
versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Pastinya kita pernah mendengar judul buku
tersebut? Sudah baca belum ya,.?!^-^
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid
(yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme
(peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Pemikiran
kartini yang tinggi memeng banyak mengispirasi wanita Eropa lebih tepatnya
kagum. Tak cukup hanya bersekolah, ia ingin melanjutkan lagi cita citanya
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24
tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam
sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi
karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya
tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..."
Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi, memang sayang
sekali tapi lagi lagi kartini punya pikiran dewasa lain. Saat menjelang
pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi
lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra
kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak
hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat
menulis sebuah buku. "Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal
ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan
bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya,
agama, bahkan korupsi.
Aku Mau menjadi moto besar kartini, hai Wanita Indonesia
yang kini berada ditahun 2012, modernisasi dimana mana, semua berkat Kartini
kita. Dengan moto yang ringan namun penuh arti beliau mampu mewujudkan dan
mengubah bangsa, sekarang mari kita buat dan benahi moto hidup kita demi
menyempurnakan pikiran sang Kartini menjadi lebih baik.
Selamat hari Wanita, selamat hari Kartini. “ayi/04/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar