Rabu, 04 April 2012

Mengenal kembali Kartini,..



Ibu kita Kartini pendekar bangsa
pendekar kaumnya, untuk merdeka,... (lagu Kartini)
  Ingat lagu yang selalu menggema saat bulan april ini, lagu yang sudah melalang buana ke semua telinga mulai dari anak anak TK hingga usia senja.
tiap bait lagunya mengundang semangat wanita Kartini (wanita Indonesia) dalam berjuang.
kembali ke sejarah perjuangan beliau beberapa tahun lalu, Wanita kelahiran kota Jepara Jawa Tengah pada 21 April 1879 lalu ini menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia pada jaman itu bahkan sampai sekarang. Wanita Priyayi begitu hebat dalam mempertahankan dan kepedulian terhadap nasib wanita, terlebih saat Wanita yang suka belajar bahasa ini mulai rajin berkirim surat bahkan bertukar pikiran pada sahabat penanya Rosa Abedanon dari Eropa. Wanita Eropa ini begitu merespon keberadaan nasib wanita Indonesia saat itu,, Pertanyaannya sekarang seperti apa nasib wanita Indonesia saat itu? Wikipedia bahasa Indonesia menjelaskan, Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas atau gerakan emansipasi wanita, bisa kita bayangkan wanita saat itu. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Seperti layaknya yang kita ketahui Wanita Indonesia dahulu ketika beranjak remaja, mungkin sekarang  anak SMP sudah harus menikah, demikian halnya dengan Kartini, oleh orangtuanya disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan  diberi kebebasan serta  didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Pastinya kita pernah mendengar judul buku tersebut? Sudah baca belum ya,.?!^-^
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Pemikiran kartini yang tinggi memeng banyak mengispirasi wanita Eropa lebih tepatnya kagum. Tak cukup hanya bersekolah, ia ingin melanjutkan lagi cita citanya
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi, memang sayang sekali tapi lagi lagi kartini punya pikiran dewasa lain. Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku. "Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Aku Mau menjadi moto besar kartini, hai Wanita Indonesia yang kini berada ditahun 2012, modernisasi dimana mana, semua berkat Kartini kita. Dengan moto yang ringan namun penuh arti beliau mampu mewujudkan dan mengubah bangsa, sekarang mari kita buat dan benahi moto hidup kita demi menyempurnakan pikiran sang Kartini menjadi lebih baik.
Selamat hari Wanita, selamat hari Kartini. “ayi/04/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar